Sabtu, 30 Mei 2015

REVIEW ISU PERTAMBANGAN INDONESIA



Menakar Urgensi Pelarangan Ekspor dan Peningkatan Pajak Ekspor Dalam Regulasi Pertambangan Indonesia


Dunia pertambangan Indonesia kini sedang diramaikan dengan keluarnya beberapa regulasi baru terkait pentingnya nilai tambah dan pembatasan ekspor dari pemerintah Indonesia .  Dimulai dengan UU Pertambangan No.4 /2009, Permen  ESDM No.7/2012,  Permen ESDM No.1/2014 hingga Permen MENKEU No 6/PMK.011/2014. Semuanya menitikberatkan pada kedua hal tersebut.  Lalu bagaimana implementasi dan urgensi hal-hal tersebut dalam meningkatkan pendapatan negara sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat?

Besarnya kontribusi pertambangan bagi PDB Indonesia

Sebagai salah satu sektor penting dalam pembangunan Indonesia, kontribusi sektor pertambangan mineral dan batubara terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tidak kecil . Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2015),  sepanjang 2014 lalu sektor pertambangan mineral dan batubara memberikan kontribusi sebesar Rp480 triliun terhadap PDB Indonesia atau 4,8 persen dari total PDB. Ini masih lebih tinggi 0,7 persen dari kontribusi sektor minyak dan gas bumi. Namun, ini bukan berarti bahwa kontribusi sektor pertambangan terhadap PDB 2014 lebih baik daripada tahun sebelumnya. Ada penurunan sebesar Rp2,7 triliun dibandingkan 2013.
Pada 2007 dan 2008, kontribusi PT ANTAM kepada negara ada di kisaran Rp2,6 triliun hingga Rp3,6 triliun. Sempat anjlok menjadi Rp0,8 triliun dan Rp0,9 triliun berturut-turut pada 2009 dan 2010 akibat krisis ekonomi global. Namun, itu tak berlangsung lama karena pada 2011, 2012 dan 2013 pendapatannya kembali meningkat berturut-turut menjadi Rp1,9 triliun, Rp2,5 triliun dan Rp2 triliun. Namun capaian itu kembali anjlok pada 2014 menjadi hanya Rp0,4 trliliun akibat larangan ekspor mineral mentah . Jika dipersentasekan, penurunan selama 2014 mencapai 73 persen dibandingkan 2013.
Mengutip Direktur Keuangan PT Aneka Tambang, Djaja M. Tambunan , penurunan penjualan bersih tersebut seiring dengan penurunan harga komoditas utama perseroan yakni nikel dan emas. "Selain itu faktor kebijakan pemerintah yang melarang ekspor bijih mineral mentah," ucap Djaja beberapa waktu lalu. Lalu mengapa ada pelarangan tersebut?

Regulasi Pertambangan yang Pro Nilai Tambah

Pepatah mengatakan, ada asap, ada api. Untuk faktor eksternal, mungkin kita tidak bisa berbuat banyak. Turun naiknya harga komoditas mineral global tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor.  Namun, dari sisi internal, seperti regulasi, tentu bisa juga menjadi penghambat. Ini semua bermula dari diterbitkannya UU Pertambangan No.4/2009 yang menetapkan kebijakan nilai tambah melalui pengolahan dalam negeri pada sektor mineral. Latar belakang dan tujuan dari keluarnya UU ini sangat baik. Pemikiran bahwa bumi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya adalah miliki negara, jelas termaktub dalam UUD 1945 pasal 33. Pemberian nilai tambah untuk komoditas pertambangan dan nilai yang diekspor tentu pemikiran yang mulia.
Agar dapat diimplementasikan, maka aturan ini harus diturunkan dalam beberapa aturan turunan lainnya.  Oleh pemerintah, regulasi ini kemudian diterjemahkan dalam beberapa Peraturan Menteri (Permen). Pertama, ada Permen ESDM No. 7/2012. Di dalam permen ini produsen  diwajibkan untuk menyusun rencana kerja peleburan, batas minimum pemurnian, termasuk larangan ekspor bijih mineral pada Mei 2012.
Dirasa memberatkan dan diprotes oleh banyak pihak, maka kebijakan pelarangan ini  ini kemudian ditunda hingga Januari 2014 melalui Permen No. 11/2012.
Dalam Permen ESDM No. 11/2012 ini dinyatakan tentang pelarangan ekspor  bijih nikel dan bauksit namun tetap memperkenankan ekspor konsentrat mineral lain yang telah diolah. Batasnya hingga 2017.  Tentu dengan catatan, ada penetapan pajak ekspor untuk komoditas-komoditas tersebut. Bea keluarnya berlaku progresif bahkan hingga 60 persen . Hal ini diperkuat lagi dengan keluarnya Peraturan Menteri Keuangan No 6/PMK.011/2014 tentang perubahan Kedua Atas PMK No. 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar

Bea Keluar yang Memberatkan

Bea keluar ekspor tersebut terasa memberatkan bagi pengusaha. Apalagi beberapa berlaku progresif dan cenderung tidak ekonomis. Di atas 40 persen saja sudah tidak ekonomis, apalagi jika mencapai 60 persen.
Menurut Ketua Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) Natsyir  Mansyur , ATEI meminta Menteri Keuangan untuk merevisi Permen No 6/PMK.011/2014MK N0.6/2014 karena ditetapkan secara sepihak tanpa melibatkan stakeholder pelaku usaha tambang. “Sungguh ironis, penetapan Bea Keluar ini dilakukan sepihak tanpa menghiraukan semua pihak seperti pengusaha pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) tembaga,” kata Natsir
Ini berarti pelarangan ekspor biji mentah dan penetapan bea ekspor yang tinggi dan progresif, perlu ditinjau ulang agar semua pemangku kepentingan di sektor petambangan dan mineral dapat memberikan masukan yang proporsional.
Rumitnya Perizinan Pembangunan Smelter
Di sisi lain, dalam upaya pemberian nilai tambah bahan mineral tambang tersebut pemerintah mewajibkan para pengusaha pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk membangun smelter. Berdasarkan Keputusan Presiden, Kemenperin menjadi penanggung jawab perizinan pembangunan smelter. Para pengusaha yang akan membangun smelter Indonesia harus izin ke Kemenperin untuk izin industrinya dan Kementerian ESDM untuk memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) khusus guna memperoleh pasokan bahan baku.
Namun pada implemenatsinya, para pelaku usaha mengeluhkan panjangnya proses perizinan pembangunan smelter. Seharusnya, izin pembangunan smelter hanya di Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM), namun nyatanya pelaku usaha harus meminta izin lagi kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Hal ini kembali diungkapkan oleh Natsyir Mansyur, kali ini dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) pada Kamis (30/8) seperti dilansir situs kemenperin.go.id
Pemerintah, kata Natsir, harus mempermudah perizinan pembangunan smelter sehingga target menciptakan nilai tambah di bahan baku tambang bisa tercapai sesuai dengan target Undang-Undang Minerba. "Jika pemerintah mempermudah masalah perizinan, investasi smelter akan meningkat. Hal tersebut sejalan dengan program pemerintah untuk menghentikan ekspor bahan baku mineral," paparnya.
Memang, masih banyak yang harus dilakukan oleh pemerintah maupun para pemangku kepentingan sektor pertambangan dan mineral untuk bahu membahu meningkatkan kontribusi sektor ini bagi pendapatan negara dan sebesar-besarnya kebutuhan rakyat (Saifullah Buaykundo).

Freeport Keberatan Atas Usul Bagi Hasil Jokowi



Jakarta, CNN Indonesia -- Manajemen PT Freeport Indonesia (PTFI) menyatakan keberatan atas usul pemerintah yang menginginkan 60 persen hasil pertambangan perseroan di Papua masuk ke kas negara.

Sebelumnya, dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari kegiatan produksi, pengolahan hingga ekspor konsentrat pemerintah akan merevisi sejumlah komponen penerimaan meliputi pajak, royalti dan beberapa bea yang dikenakan ke perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut. Ini mengingat dalam delapan tahun terakhir pemerintah hanya memperoleh porsi sekitar 40 persen dari total seluruh pendapatan Freeport Indonesia.

"Kami sebenarnya tidak keberatan tapi Freeport sebagai investor tentunya memiliki hitung-hitungan soal investasi di Indonesia. Tentu saja tidak ada unit usaha yang mau rugi," ujar Presiden Direktur Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin di Jakarta, Minggu (25/1).

Meski begitu, Maroef bilang, pihaknya akan melakukan komunikasi yang intens dengan pemerintah mengenai kesepakatan porsi bagi hasil. Ia pun menargetkan pembahasan soal bagi hasil bisa selesai bersamaan dengan perpanjangan nota kesepaham (Memorandum of Understanding/MoU) renegosiasi kontrak.

"Kami dan pemerintah masih menghitung dan proses ini masih berjalan terus. Waktu enam bulan ini akan kita manfaatkan dengan baik dan tentukan langkah-langkah apa saja untuk ke depan," ujar Mantan Wakil Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) itu.

Beri Izin Usaha Pertambangan Khusus
Di kesempatan yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said mengisyaratkan bakal memberikan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) selepas perusahaan tersebut habis kontrak pada 2017 mendatang. Sudirman mengatakan, ini dilakukan dalam rangka menjamin investasi Freeport di Indonesia.
"Investasi besar itu harus memiliki kepastian. Jadi masuk akal kalau kami (pemerintah) memberikan sinyal akan memberi memperpanjang izin operasi untuk Freeport agar bisnisnya justified," ujarnya.

Asal tahu, selain membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di Gresik yang diprediksi menelan biaya hingga US$ 2,3 miliar, Freeport juga berencana mengembangkan beberapa wilayah kerja melalui teknologi tambang bawah tanah (underground mining).
Maroef mengatakan, untuk proyek tersebut pihaknya akan menggelontorkan dana investasi mencapai US$ 15 miliar. Ada pun dana itu bakal dipakai untuk penyediaan teknologi cangih untuk meminimalisir risiko penggalian dan eksploitasi.
"Tambang bawah tanah akan menggunakan teknologi robotic. Sementara untuk smelter Kami akan bekerjasama dengan Mitsubishi Corp karena teknologi mereka sudah proven" pungkasnya.



Sumber:







Tidak ada komentar:

Posting Komentar