Menakar Urgensi Pelarangan Ekspor dan Peningkatan Pajak
Ekspor Dalam Regulasi Pertambangan Indonesia
Dunia pertambangan Indonesia kini sedang
diramaikan dengan keluarnya beberapa regulasi baru terkait pentingnya nilai
tambah dan pembatasan ekspor dari pemerintah Indonesia . Dimulai dengan
UU Pertambangan No.4 /2009, Permen ESDM No.7/2012, Permen ESDM
No.1/2014 hingga Permen MENKEU No 6/PMK.011/2014. Semuanya menitikberatkan pada
kedua hal tersebut. Lalu bagaimana implementasi dan urgensi hal-hal
tersebut dalam meningkatkan pendapatan negara sekaligus meningkatkan
kesejahteraan rakyat?
Besarnya kontribusi pertambangan bagi PDB Indonesia
Sebagai salah satu sektor penting dalam
pembangunan Indonesia, kontribusi sektor pertambangan mineral dan batubara
terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tidak kecil . Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (2015), sepanjang 2014 lalu sektor pertambangan mineral
dan batubara memberikan kontribusi sebesar Rp480 triliun terhadap PDB Indonesia
atau 4,8 persen dari total PDB. Ini masih lebih tinggi 0,7 persen dari
kontribusi sektor minyak dan gas bumi. Namun, ini bukan berarti bahwa
kontribusi sektor pertambangan terhadap PDB 2014 lebih baik daripada tahun
sebelumnya. Ada penurunan sebesar Rp2,7 triliun dibandingkan 2013.
Pada 2007 dan 2008, kontribusi PT ANTAM
kepada negara ada di kisaran Rp2,6 triliun hingga Rp3,6 triliun. Sempat anjlok
menjadi Rp0,8 triliun dan Rp0,9 triliun berturut-turut pada 2009 dan 2010
akibat krisis ekonomi global. Namun, itu tak berlangsung lama karena pada 2011,
2012 dan 2013 pendapatannya kembali meningkat berturut-turut menjadi Rp1,9
triliun, Rp2,5 triliun dan Rp2 triliun. Namun capaian itu kembali anjlok pada
2014 menjadi hanya Rp0,4 trliliun akibat larangan ekspor mineral mentah . Jika
dipersentasekan, penurunan selama 2014 mencapai 73 persen dibandingkan 2013.
Mengutip Direktur Keuangan PT Aneka Tambang,
Djaja M. Tambunan , penurunan penjualan bersih tersebut seiring dengan
penurunan harga komoditas utama perseroan yakni nikel dan emas. "Selain
itu faktor kebijakan pemerintah yang melarang ekspor bijih mineral
mentah," ucap Djaja beberapa waktu lalu. Lalu mengapa ada pelarangan
tersebut?
Regulasi Pertambangan yang Pro Nilai Tambah
Pepatah mengatakan, ada asap, ada api. Untuk
faktor eksternal, mungkin kita tidak bisa berbuat banyak. Turun naiknya harga
komoditas mineral global tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor. Namun,
dari sisi internal, seperti regulasi, tentu bisa juga menjadi penghambat. Ini
semua bermula dari diterbitkannya UU Pertambangan No.4/2009 yang menetapkan
kebijakan nilai tambah melalui pengolahan dalam negeri pada sektor mineral.
Latar belakang dan tujuan dari keluarnya UU ini sangat baik. Pemikiran bahwa
bumi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya adalah miliki negara, jelas
termaktub dalam UUD 1945 pasal 33. Pemberian nilai tambah untuk komoditas
pertambangan dan nilai yang diekspor tentu pemikiran yang mulia.
Agar dapat diimplementasikan, maka aturan ini
harus diturunkan dalam beberapa aturan turunan lainnya. Oleh pemerintah,
regulasi ini kemudian diterjemahkan dalam beberapa Peraturan Menteri (Permen).
Pertama, ada Permen ESDM No. 7/2012. Di dalam permen ini produsen
diwajibkan untuk menyusun rencana kerja peleburan, batas minimum
pemurnian, termasuk larangan ekspor bijih mineral pada Mei 2012.
Dirasa memberatkan dan diprotes oleh banyak
pihak, maka kebijakan pelarangan ini ini kemudian ditunda hingga Januari
2014 melalui Permen No. 11/2012.
Dalam Permen ESDM No. 11/2012 ini dinyatakan
tentang pelarangan ekspor bijih nikel dan bauksit namun tetap
memperkenankan ekspor konsentrat mineral lain yang telah diolah. Batasnya
hingga 2017. Tentu dengan catatan, ada penetapan pajak ekspor untuk
komoditas-komoditas tersebut. Bea keluarnya berlaku progresif bahkan hingga 60
persen . Hal ini diperkuat lagi dengan keluarnya Peraturan Menteri Keuangan No
6/PMK.011/2014 tentang perubahan Kedua Atas PMK No. 75/PMK.011/2012 tentang
Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar
Bea Keluar yang Memberatkan
Bea keluar ekspor tersebut terasa memberatkan
bagi pengusaha. Apalagi beberapa berlaku progresif dan cenderung tidak
ekonomis. Di atas 40 persen saja sudah tidak ekonomis, apalagi jika mencapai 60
persen.
Menurut Ketua Asosiasi Tembaga Emas Indonesia
(ATEI) Natsyir Mansyur , ATEI meminta Menteri Keuangan untuk merevisi
Permen No 6/PMK.011/2014MK N0.6/2014 karena ditetapkan secara sepihak tanpa melibatkan
stakeholder pelaku usaha tambang. “Sungguh ironis, penetapan Bea Keluar ini
dilakukan sepihak tanpa menghiraukan semua pihak seperti pengusaha pemilik Izin
Usaha Pertambangan (IUP) tembaga,” kata Natsir
Ini berarti pelarangan ekspor biji mentah dan
penetapan bea ekspor yang tinggi dan progresif, perlu ditinjau ulang agar semua
pemangku kepentingan di sektor petambangan dan mineral dapat memberikan masukan
yang proporsional.
Rumitnya Perizinan Pembangunan Smelter
Di sisi lain, dalam upaya pemberian nilai
tambah bahan mineral tambang tersebut pemerintah mewajibkan para pengusaha
pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk membangun smelter. Berdasarkan
Keputusan Presiden, Kemenperin menjadi penanggung jawab perizinan pembangunan
smelter. Para pengusaha yang akan membangun smelter Indonesia harus izin ke
Kemenperin untuk izin industrinya dan Kementerian ESDM untuk memperoleh Izin
Usaha Pertambangan (IUP) khusus guna memperoleh pasokan bahan baku.
Namun pada implemenatsinya, para pelaku usaha
mengeluhkan panjangnya proses perizinan pembangunan smelter. Seharusnya, izin
pembangunan smelter hanya di Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Badan
Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM), namun nyatanya pelaku usaha harus
meminta izin lagi kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Hal ini
kembali diungkapkan oleh Natsyir Mansyur, kali ini dalam kapasitasnya sebagai
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) pada Kamis (30/8)
seperti dilansir situs kemenperin.go.id
Pemerintah, kata Natsir, harus mempermudah
perizinan pembangunan smelter sehingga target menciptakan nilai tambah di bahan
baku tambang bisa tercapai sesuai dengan target Undang-Undang Minerba.
"Jika pemerintah mempermudah masalah perizinan, investasi smelter akan meningkat.
Hal tersebut sejalan dengan program pemerintah untuk menghentikan ekspor bahan
baku mineral," paparnya.
Memang, masih banyak yang harus dilakukan
oleh pemerintah maupun para pemangku kepentingan sektor pertambangan dan
mineral untuk bahu membahu meningkatkan kontribusi sektor ini bagi pendapatan
negara dan sebesar-besarnya kebutuhan rakyat (Saifullah Buaykundo).
Freeport
Keberatan Atas Usul Bagi Hasil Jokowi
Jakarta, CNN
Indonesia -- Manajemen PT Freeport Indonesia (PTFI) menyatakan keberatan atas usul
pemerintah yang menginginkan 60 persen hasil pertambangan perseroan di Papua
masuk ke kas negara.
Sebelumnya, dalam rangka
meningkatkan penerimaan negara dari kegiatan produksi, pengolahan hingga ekspor
konsentrat pemerintah akan merevisi sejumlah komponen penerimaan meliputi
pajak, royalti dan beberapa bea yang dikenakan ke perusahaan tambang asal
Amerika Serikat tersebut. Ini mengingat dalam delapan tahun terakhir pemerintah
hanya memperoleh porsi sekitar 40 persen dari total seluruh pendapatan Freeport
Indonesia.
"Kami sebenarnya tidak keberatan tapi Freeport sebagai investor tentunya memiliki hitung-hitungan soal investasi di Indonesia. Tentu saja tidak ada unit usaha yang mau rugi," ujar Presiden Direktur Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin di Jakarta, Minggu (25/1).
Meski begitu, Maroef bilang, pihaknya akan melakukan komunikasi yang intens dengan pemerintah mengenai kesepakatan porsi bagi hasil. Ia pun menargetkan pembahasan soal bagi hasil bisa selesai bersamaan dengan perpanjangan nota kesepaham (Memorandum of Understanding/MoU) renegosiasi kontrak.
"Kami dan pemerintah masih menghitung dan proses ini masih berjalan terus. Waktu enam bulan ini akan kita manfaatkan dengan baik dan tentukan langkah-langkah apa saja untuk ke depan," ujar Mantan Wakil Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) itu.
Beri Izin Usaha Pertambangan Khusus
Di kesempatan yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),
Sudirman Said mengisyaratkan bakal memberikan izin usaha pertambangan khusus
(IUPK) selepas perusahaan tersebut habis kontrak pada 2017 mendatang. Sudirman
mengatakan, ini dilakukan dalam rangka menjamin investasi Freeport di
Indonesia.
"Investasi besar itu harus memiliki kepastian. Jadi masuk akal
kalau kami (pemerintah) memberikan sinyal akan memberi memperpanjang izin
operasi untuk Freeport agar bisnisnya justified," ujarnya.
Asal tahu, selain membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di Gresik yang diprediksi menelan biaya hingga US$ 2,3 miliar, Freeport juga berencana mengembangkan beberapa wilayah kerja melalui teknologi tambang bawah tanah (underground mining).
Asal tahu, selain membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di Gresik yang diprediksi menelan biaya hingga US$ 2,3 miliar, Freeport juga berencana mengembangkan beberapa wilayah kerja melalui teknologi tambang bawah tanah (underground mining).
Maroef mengatakan, untuk proyek tersebut pihaknya akan menggelontorkan
dana investasi mencapai US$ 15 miliar. Ada pun dana itu bakal dipakai untuk
penyediaan teknologi cangih untuk meminimalisir risiko penggalian dan
eksploitasi.
"Tambang
bawah tanah akan menggunakan teknologi robotic. Sementara untuk smelter Kami
akan bekerjasama dengan Mitsubishi Corp karena teknologi mereka sudah proven" pungkasnya.
Sumber: