Sabtu, 30 Mei 2015

REVIEW ISU PERTAMBANGAN INDONESIA



Menakar Urgensi Pelarangan Ekspor dan Peningkatan Pajak Ekspor Dalam Regulasi Pertambangan Indonesia


Dunia pertambangan Indonesia kini sedang diramaikan dengan keluarnya beberapa regulasi baru terkait pentingnya nilai tambah dan pembatasan ekspor dari pemerintah Indonesia .  Dimulai dengan UU Pertambangan No.4 /2009, Permen  ESDM No.7/2012,  Permen ESDM No.1/2014 hingga Permen MENKEU No 6/PMK.011/2014. Semuanya menitikberatkan pada kedua hal tersebut.  Lalu bagaimana implementasi dan urgensi hal-hal tersebut dalam meningkatkan pendapatan negara sekaligus meningkatkan kesejahteraan rakyat?

Besarnya kontribusi pertambangan bagi PDB Indonesia

Sebagai salah satu sektor penting dalam pembangunan Indonesia, kontribusi sektor pertambangan mineral dan batubara terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) tidak kecil . Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2015),  sepanjang 2014 lalu sektor pertambangan mineral dan batubara memberikan kontribusi sebesar Rp480 triliun terhadap PDB Indonesia atau 4,8 persen dari total PDB. Ini masih lebih tinggi 0,7 persen dari kontribusi sektor minyak dan gas bumi. Namun, ini bukan berarti bahwa kontribusi sektor pertambangan terhadap PDB 2014 lebih baik daripada tahun sebelumnya. Ada penurunan sebesar Rp2,7 triliun dibandingkan 2013.
Pada 2007 dan 2008, kontribusi PT ANTAM kepada negara ada di kisaran Rp2,6 triliun hingga Rp3,6 triliun. Sempat anjlok menjadi Rp0,8 triliun dan Rp0,9 triliun berturut-turut pada 2009 dan 2010 akibat krisis ekonomi global. Namun, itu tak berlangsung lama karena pada 2011, 2012 dan 2013 pendapatannya kembali meningkat berturut-turut menjadi Rp1,9 triliun, Rp2,5 triliun dan Rp2 triliun. Namun capaian itu kembali anjlok pada 2014 menjadi hanya Rp0,4 trliliun akibat larangan ekspor mineral mentah . Jika dipersentasekan, penurunan selama 2014 mencapai 73 persen dibandingkan 2013.
Mengutip Direktur Keuangan PT Aneka Tambang, Djaja M. Tambunan , penurunan penjualan bersih tersebut seiring dengan penurunan harga komoditas utama perseroan yakni nikel dan emas. "Selain itu faktor kebijakan pemerintah yang melarang ekspor bijih mineral mentah," ucap Djaja beberapa waktu lalu. Lalu mengapa ada pelarangan tersebut?

Regulasi Pertambangan yang Pro Nilai Tambah

Pepatah mengatakan, ada asap, ada api. Untuk faktor eksternal, mungkin kita tidak bisa berbuat banyak. Turun naiknya harga komoditas mineral global tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor.  Namun, dari sisi internal, seperti regulasi, tentu bisa juga menjadi penghambat. Ini semua bermula dari diterbitkannya UU Pertambangan No.4/2009 yang menetapkan kebijakan nilai tambah melalui pengolahan dalam negeri pada sektor mineral. Latar belakang dan tujuan dari keluarnya UU ini sangat baik. Pemikiran bahwa bumi dan kekayaan yang terkandung di dalamnya adalah miliki negara, jelas termaktub dalam UUD 1945 pasal 33. Pemberian nilai tambah untuk komoditas pertambangan dan nilai yang diekspor tentu pemikiran yang mulia.
Agar dapat diimplementasikan, maka aturan ini harus diturunkan dalam beberapa aturan turunan lainnya.  Oleh pemerintah, regulasi ini kemudian diterjemahkan dalam beberapa Peraturan Menteri (Permen). Pertama, ada Permen ESDM No. 7/2012. Di dalam permen ini produsen  diwajibkan untuk menyusun rencana kerja peleburan, batas minimum pemurnian, termasuk larangan ekspor bijih mineral pada Mei 2012.
Dirasa memberatkan dan diprotes oleh banyak pihak, maka kebijakan pelarangan ini  ini kemudian ditunda hingga Januari 2014 melalui Permen No. 11/2012.
Dalam Permen ESDM No. 11/2012 ini dinyatakan tentang pelarangan ekspor  bijih nikel dan bauksit namun tetap memperkenankan ekspor konsentrat mineral lain yang telah diolah. Batasnya hingga 2017.  Tentu dengan catatan, ada penetapan pajak ekspor untuk komoditas-komoditas tersebut. Bea keluarnya berlaku progresif bahkan hingga 60 persen . Hal ini diperkuat lagi dengan keluarnya Peraturan Menteri Keuangan No 6/PMK.011/2014 tentang perubahan Kedua Atas PMK No. 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar

Bea Keluar yang Memberatkan

Bea keluar ekspor tersebut terasa memberatkan bagi pengusaha. Apalagi beberapa berlaku progresif dan cenderung tidak ekonomis. Di atas 40 persen saja sudah tidak ekonomis, apalagi jika mencapai 60 persen.
Menurut Ketua Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI) Natsyir  Mansyur , ATEI meminta Menteri Keuangan untuk merevisi Permen No 6/PMK.011/2014MK N0.6/2014 karena ditetapkan secara sepihak tanpa melibatkan stakeholder pelaku usaha tambang. “Sungguh ironis, penetapan Bea Keluar ini dilakukan sepihak tanpa menghiraukan semua pihak seperti pengusaha pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) tembaga,” kata Natsir
Ini berarti pelarangan ekspor biji mentah dan penetapan bea ekspor yang tinggi dan progresif, perlu ditinjau ulang agar semua pemangku kepentingan di sektor petambangan dan mineral dapat memberikan masukan yang proporsional.
Rumitnya Perizinan Pembangunan Smelter
Di sisi lain, dalam upaya pemberian nilai tambah bahan mineral tambang tersebut pemerintah mewajibkan para pengusaha pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk membangun smelter. Berdasarkan Keputusan Presiden, Kemenperin menjadi penanggung jawab perizinan pembangunan smelter. Para pengusaha yang akan membangun smelter Indonesia harus izin ke Kemenperin untuk izin industrinya dan Kementerian ESDM untuk memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) khusus guna memperoleh pasokan bahan baku.
Namun pada implemenatsinya, para pelaku usaha mengeluhkan panjangnya proses perizinan pembangunan smelter. Seharusnya, izin pembangunan smelter hanya di Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM), namun nyatanya pelaku usaha harus meminta izin lagi kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Hal ini kembali diungkapkan oleh Natsyir Mansyur, kali ini dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) pada Kamis (30/8) seperti dilansir situs kemenperin.go.id
Pemerintah, kata Natsir, harus mempermudah perizinan pembangunan smelter sehingga target menciptakan nilai tambah di bahan baku tambang bisa tercapai sesuai dengan target Undang-Undang Minerba. "Jika pemerintah mempermudah masalah perizinan, investasi smelter akan meningkat. Hal tersebut sejalan dengan program pemerintah untuk menghentikan ekspor bahan baku mineral," paparnya.
Memang, masih banyak yang harus dilakukan oleh pemerintah maupun para pemangku kepentingan sektor pertambangan dan mineral untuk bahu membahu meningkatkan kontribusi sektor ini bagi pendapatan negara dan sebesar-besarnya kebutuhan rakyat (Saifullah Buaykundo).

Freeport Keberatan Atas Usul Bagi Hasil Jokowi



Jakarta, CNN Indonesia -- Manajemen PT Freeport Indonesia (PTFI) menyatakan keberatan atas usul pemerintah yang menginginkan 60 persen hasil pertambangan perseroan di Papua masuk ke kas negara.

Sebelumnya, dalam rangka meningkatkan penerimaan negara dari kegiatan produksi, pengolahan hingga ekspor konsentrat pemerintah akan merevisi sejumlah komponen penerimaan meliputi pajak, royalti dan beberapa bea yang dikenakan ke perusahaan tambang asal Amerika Serikat tersebut. Ini mengingat dalam delapan tahun terakhir pemerintah hanya memperoleh porsi sekitar 40 persen dari total seluruh pendapatan Freeport Indonesia.

"Kami sebenarnya tidak keberatan tapi Freeport sebagai investor tentunya memiliki hitung-hitungan soal investasi di Indonesia. Tentu saja tidak ada unit usaha yang mau rugi," ujar Presiden Direktur Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin di Jakarta, Minggu (25/1).

Meski begitu, Maroef bilang, pihaknya akan melakukan komunikasi yang intens dengan pemerintah mengenai kesepakatan porsi bagi hasil. Ia pun menargetkan pembahasan soal bagi hasil bisa selesai bersamaan dengan perpanjangan nota kesepaham (Memorandum of Understanding/MoU) renegosiasi kontrak.

"Kami dan pemerintah masih menghitung dan proses ini masih berjalan terus. Waktu enam bulan ini akan kita manfaatkan dengan baik dan tentukan langkah-langkah apa saja untuk ke depan," ujar Mantan Wakil Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) itu.

Beri Izin Usaha Pertambangan Khusus
Di kesempatan yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said mengisyaratkan bakal memberikan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) selepas perusahaan tersebut habis kontrak pada 2017 mendatang. Sudirman mengatakan, ini dilakukan dalam rangka menjamin investasi Freeport di Indonesia.
"Investasi besar itu harus memiliki kepastian. Jadi masuk akal kalau kami (pemerintah) memberikan sinyal akan memberi memperpanjang izin operasi untuk Freeport agar bisnisnya justified," ujarnya.

Asal tahu, selain membangun pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) di Gresik yang diprediksi menelan biaya hingga US$ 2,3 miliar, Freeport juga berencana mengembangkan beberapa wilayah kerja melalui teknologi tambang bawah tanah (underground mining).
Maroef mengatakan, untuk proyek tersebut pihaknya akan menggelontorkan dana investasi mencapai US$ 15 miliar. Ada pun dana itu bakal dipakai untuk penyediaan teknologi cangih untuk meminimalisir risiko penggalian dan eksploitasi.
"Tambang bawah tanah akan menggunakan teknologi robotic. Sementara untuk smelter Kami akan bekerjasama dengan Mitsubishi Corp karena teknologi mereka sudah proven" pungkasnya.



Sumber:







Sabtu, 02 Mei 2015

BEDAH JURNAL



TUGAS SOFTSKILL PEREKONOMIAN INDONESIA
FAKULTAS EKONOMI/JURUSAN AKUNTANSI
UNIVERSITAS GUNADARMA








BEDAH JURNAL

“ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAN PREDIKSI TINGKAT KESEHATAN BANK DENGAN MENGGUNAKAN METODE CAMEL PADA BANK UMUM YANG TERCATAT DI BURSA EFEK INDONESIA”


DISUSUN OLEH :


NOVIA DWI KARINDA
28214047

1EB02


















BAB 1
LATAR BELAKANG

Perkembangan di dunia perbankan yang sangat pesat serta tingkat kompleksitas yang tinggi dapat berpengaruh terhadap performa suatu bank. Kompleksitas usaha perbankan yang tinggi dapat meningkatkan resiko yang dihadapi oleh bank-bank yang ada di Indonesia. Permasalahan perbankan di Indonesia antara lain disebabkan depresiasi rupiah, peningkatan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sehingga menyebabkan meningkatnya kredit bermasalah. Lemahnya kondisi internal bank seperti manajemen yang kurang memadai, pemberian kredit kepada kelompok atau grup usaha sendiri serta modal yang tidak dapat mengcover terhadap resiko-resiko yang dihadapi oleh bank tersebut menyebabkan kinerja bank menurun.
Bank merupakan industri yang dalam kegiatan usahanya mengandalkan kepercayaan masyarakat sehingga kesehatan bank perlu dipelihara. Pemeliharaan kesehatan bank dilakukan dengan tetap menjaga likuiditas sehingga bank dapat memenuhi kewajibannya dan menjaga kinerjanya agar bank memperoleh kepercayaan dari masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap bank akan terwujud apabila bank mampu meningkatkan kinerjanya secara optimal.
Akhir-akhir ini istilah bank sehat atau tidak sehat semakin populer. Pendirian bank-bank yang semakin menjamur dan persaingan antar bank yang sangat ketat memunculkan pertanyaan yang mendasar bahwa apakah semua kondisi bank tersebut sehat. Berbagai kejadian aktual, tentang perbankan seperti merger dan likuidasi selalu dikaitkan dengan kesehatan bank tadi. Oleh karenanya sebuah bank tentunya memerlukan suatu analisis untuk mengetahui kondisinya setelah melakukan kegiatan operasionalnya dalam jangka waktu tertentu. Analisis yang dilakukan disini berupa penilaian tingkat kesehatan bank.
Dalam menilai kinerja perusahan perbankan, umumnya digunakan lima aspek penilaian yaitu CAMEL (Capital, Assets, Management, Earnings, Liquidity). Kelima aspek tersebut dinilai dengan menggunakan rasio keuangan. Hal ini menunjukkan bahwa rasio keuangan bermanfaat dalam menilai kondisi kesehatan perbankan, memprediksi kelangsungan usaha baik yang sehat maupun yang tidak sehat. CAMEL tidak sekedar mengukur tingkat kesehatan bank tetapi juga digunakan sebagai indikator dalam menyusun peringkat dan memprediksi kebangkrutan bank. Indikator indikator yang digunakan dalam tingkat kesehatan bank adalah Capital Adquency Ratio (CAR), Kualitas Aktiva Produktif (KAP), Net Interest Margin (NIM), Ratio Return On Asset (ROA), Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO), dan Loan Deposit Ratio (LDR).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merasa tertarik untuk membahas dan melakukan penelitian dengan judul “ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAN PREDIKSI TINGKAT KESEHATAN BANK DENGAN MENGGUNAKAN METODE CAMEL PADA BANK UMUM YANG TERCATAT DI BURSA EFEK INDONESIA”.













BAB 2
TUJUAN PENELITIAN


Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dirumuskan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1.      Untuk mengetahui pengaruh variabel CAR, KAP, NIM, ROA, BOPO, dan LDR terhadap tingkat kesehatan bank umum.

2.      Untuk mengetahui predikat kinerja bank selama tahun 2009-2011 dengan menggunakan metode CAMEL.





























BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

            Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data rasio-rasio keuangan bank berupa Capital Adquency Ratio (CAR), Kualitas Aktiva Produktif (KAP), Net Interest Margin (NIM), Ratio Return On Asset (ROA), Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO), dan Loan Deposit Ratio (LDR). Adapun sumber data diperoleh dari publikasi laporan keuangan tahun 2009-2011 melalui penelusuran dari internet yaitu www.bi.go.id dan publikasi yang diterbitkan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui www.idx.com, tidak melalui perhitungan.

3.2 Variabel

Variabel yang dianalisis melalui penelitian ini terdiri dari satu variabel dependen (Y) dan 6 variabel indenpenden (X). Definisi operasional setiap variabel adalah sebagai berikut:

1.      Variabel Dependen (Y)
Variabel Dependen adalah variabel yang nilainya dipengaruhi oleh variabel independen. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kondisi tingkat kesehatan bank yang merupakan variabel kategori.
2.      Variabel Independen (X)

Variabel Independen adalah variabel yang menjadi sebab terjadinya atau terpengaruhinya variabel dependen. 



3.3 Alat Analisis

Uji Asumsi Klasik Statistik
Karena data yang digunakan data sekunder, maka untuk menentukan ketepatan model perlu dilakukan pengujian atas beberapa asumsi klasik yang mendasari model regresi. Model regresi linier berganda dapat disebut sebagai model yang baik jika model tersebut memenuhi asumsi normalitas data dan terbebas dari asumsi klasik statistik, baik itu multikolinieritas, autokorelasi dan heteroskedatisitas.

Regresi Linier Berganda
Regresi bertujuan menguji hubungan pengaruh antara satu variabel terhadap variabel lain. Variabel yang dipengaruhi satu variabel disebut variabel tergantung atau dependen sedangkan variabel yang mempengaruhi disebut variabel bebas atau variabel independen.
Regresi yang memiliki satu variabel dependen dan satu variabel
independen disebut regresi sederhana. sedangkan regresi yang memiliki satu
variabel dependen dan lebih dari satu variabel independen disebut regresi
berganda.
Linier hanya dapat diterapkan pada regresi berganda. karena memiliki variabel independen lebih dari satu, suatu model regresi berganda dikatakan linier jika memenuhi syarat-syarat linieritas, seperti normalitas data (baik secara individu maupun model), bebas dari asumsi klasik statistik multikolinieritas, autokorelasi, dan heteroskesdastisitas.

Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi (R2) bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan variabel independen menjelaskan variabel dependen. Koefisien determinasi terletak pada Model Summaryb dan tertulis R Square. Namun untuk regresi linier berganda sebaiknya mengunakan R Square yang sudah disesuaikan atau ditulis Adjusted R Square, karena disesuaikan dengan jumlah variabel independen yang digunakan dalam penelitian. Nilai R Square dikatakan baik jika di atas 0,5 karena nilai R Square berkisar antara 0 sampai 1.

Uji Simultan dengan F-Test (ANOVA)
Hasil F-test menunjukkan variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen jika p-value lebih kecil dari level of significant yang ditentukan atau F hitung lebih besar dari F tabel.

a.      Hipotesis Statistik:
Ho : secara keseluruhan variabel bebas tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikatnya.
Ha : secara keseluruhan variabel bebas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikatnya.

b.      Kriteria Pengambilan Keputusan:
ü  F hitung lebih besar dari Ftabel : Ho ditolak
ü  F hitung lebih kecil dari Ftabel : Ho diterima atau
ü  Jika Probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak
ü  Jika Probabilitas > 0.05, maka Ho diterima

Uji Parsial dengan T-Test
Uji T-test ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh masingmasing variabel independen secara individual (parsial) terhadap variabel dependen.

a.      Hipotesis Statistik:
Ho : secara parsial variabel bebas tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikatnya.
Ha : secara parsial variabel bebas memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikatnya.

b.      Kriteria Pengambilan Keputusan:
ü  t hitung lebih besar dari t tabel : Ho ditolak
ü  t hitung lebih kecil dari t tabel : Ho diterima atau
ü  Jika Probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak
ü  Jika Probabilitas > 0.05, maka Ho diterima



























BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa secara simultan variabel CAR, KAP, NIM, ROA, BOPO dan LDR berpengaruh signifikan terhadap tingkat kesehatan bank. Secara parsial variabel KAP dan NIM berpengaruh signifikan terhadap tingkat kesehatan. Sedangkan variabel CAR, ROA, BOPO dan LDR berpengaruh tidak signifikan terhadap tingkat kesehatan bank.
Hasil analisis dari hipotesis kedua menyatakan bahwa KAP berpengaruh signifikan terhadap tingkat kesehatan bank dikarenakan nilai signifikan KAP lebih kecil atau kurang dari 0.05, sehingga hipotesis diterima. Hal ini konsisten dengan anggapan bahwa KAP yang tinggi memiliki kecenderungan tingkat kesehatan bank yang baik.
Variabel Management yang diukur dengan rasio NIM berpengaruh signifikan terhadap tingkat kesehatan bank dikarenakan nilai signifikan NIM lebih kecil atau kurang dari 0.05, sehingga hipotesis diterima. Penelitian ini tidak selaras dengan penelitian milik Titik Aryati dan Shirin Balafif (2007) yang menyatakan bahwa rasio NIM tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kesehatan bank. Selain itu, menurut penelitian Luciana Spica Almilia dan Winny Herdiningtyas (2005) juga menyatakan bahwa rasio NIM tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap kondisi bermasalah suatu bank.
Tidak berpengaruhnya CAR terhadap tingkat kesehatan bank disebabkan karena bank-bank tidak mengoptimalkan modal yang ada. Penelitian ini selaras dengan penelitian Titik Aryati dan Shirin Balafif (2007) yang menunjukkan CAR tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kesehatan bank. Akan tetapi, hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian Luciana Spica Almilia dan Winny Herdiningtyas (2005) yang menyatakan bahwa rasio CAR mempunyai pengaruh signifikan terhadap kondisi bermasalah.
 Hasil analisis dari hipotesis keempat menyatakan bahwa ROA tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kesehatan bank dikarenakan nilai signifikan ROA lebih besar dari 0.05, sehingga hipotesis ditolak. Penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yaitu Titik Aryati dan Shirin Balafif (2007) yang menunjukkan bahwa rasio ROA tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kesehatan bank. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Luciana Spica Almilia dan Winny Herdiningtyas (2005) juga menyatakan bahwa rasio ROA tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap kondisi bermasalah artinya semakin rendah rasio ini maka semakin besar kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah.
Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa BOPO tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kesehatan dikarenakan nilai signifikan BOPO lebih besar dari 0.05, sehingga hipotesis ditolak. Penelitian ini tidak selaras dengan penelitian Luciana Spica Almilia dan Winny Herdiningtyas (2005) yang menyatakan bahwa rasio BOPO mempunyai pengaruh signifikan terhadap kondisi bermasalah suatu bank. Semakin efisien biaya operasional yang dikeluarkan bank sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil.
Untuk variabel Liquidity yang diukur dengan rasio Loan Deposit Ratio (LDR) tidak signifikan terhadap tingkat kesehatan bank. Penelitian ini selaras dengan penelitian sebelumnya yaitu Luciana Spica Almilia dan Winny Herdiningtyas (2005) serta penelitian milik Titik Aryati dan Balafif (2007) yang memperlihatkan hasil bahwa rasio LDR tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kesehatan bank.
Analisis dilanjutkan pada penetapan kesimpulan predikat tingkat kesehatan bank yaitu terdapat sekitar 70% bank selama periode 2009-2011 menunjukkan kondisi bank yang stabil dengan predikat “Cukup Sehat”. Ada beberapa bank yang mengalami peningkatan dan penurunan di tahun 2009 sampai tahun 2011. Bahkan ada bank yang tetap berada pada predikat “Tidak Sehat” selama 3 periode.





































BAB 5
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis yang telah dilakukan dalam penelitian ini maka penulis dapat mengambil kesimpulan, yaitu:

a.      Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap tingkat kesehatan bank adalah variabel KAP dan NIM. Sedangkan variabel CAR, ROA, BOPO dan LDR memberikan pengaruh tidak signifikan terhadap tingkat kesehatan bank.

b.      Predikat kinerja bank selama periode 2009-2011 dengan menggunakan metode CAMEL diketahui terdapat 70% bank menunjukkan bahwa kondisi bank tersebut stabil. Artinya bank-bank umum dapat dikategorikan bank yang “Cukup Sehat”. Ada beberapa bank yang mengalami peningkatan dan penurunan dari tahun 2009 sampai tahun 2011. Bahkan ada bank yang tetap berada pada predikat “Tidak Sehat” selama 3 periode.