KRISIS
KEMANUSIAAN DI SURIAH
Suriah dengan
ibu kota Damaskus merupakan salah satu negara yang berada di kawasan Timur
Tengah, Suriah berbatasan langsung dengan Turki, Irak dan Yordania. Suriah merupakan salah satu negara yang mengalami bencana
kemanusia akibat perang Sipil yang terjadi hingga detik ini. PBB mengatakan bahwa
Suriah telah menjadi medan pertempuran yang amat mengerikan. Perang Suriah
terus terjadi dan semakin memanas.
Seperti yang
dilansir oleh laman CNN, sedikitnya lebih dari 20 ribu pengungsi Suriah telah
menyebrang dan melarikan diri dari Suriah ke Turki melalui perbatasan Tal Abyad
demi mengharap perlindungan keamanan dari Perang sipil yang tak berujung antara
pejuang Kurdi dengan kelompok militan ekstremis ISIS. Para pengungsi
meninggalkan negara mereka yang dilanda perang melalui pos perbatasan Turki, Akcakale,
yang menghadap ke Kota Tal Abyad di Suriah yang kini dikuasai oleh YPG.
Warga Suriah
memutuskan untuk keluar dari negara Suriah dan mengungsi ke negara tetangga
bahkan Eropa karena negara Suriah tempat tinggal mereka sudah menjadi arena
perang yang mengerikan, mereka melihat anggota keluarga tewas ditembaki dengan
sadis oleh senjata mesin atau rumah mereka yang sudah rata dengan tanah akibat
bom.
Awal mula
Krisis kemanusiaan di Suriah ini adalah terjadinya demo anti-pemerintah pada
bulan Maret 2011. Protes damai yang dilakukan merupakan bagian dari
gelombang Arab Spring itu semakin besar dan pecah jadi kerusahan setelah
tentara pemerintah meresponnya protes damai itu dengan kekerasan. Pemberontak
pun termakan emosi dan bangkit melawan rezim. Sejumlah tentara melakukan
pembelotan dan warga sipil ikut angkat senjata. Sampai saat ini sudah memakan
banyak korban akibat perang sipil dari konflik Perpecahan antara pejuang
sekuler dan Islamis, dan antara kelompok etnis.
Sudah empat
tahun berlalu konflik di Suriah berlangsung, samapi saat ini diperkirakan lebih
dari 220.000 orang tewas dan dari korban yang tewas itu sebagian besar adalah
warga sipil. Perang yang semakin memanas ini menyebabkan banyak infrastruktur
kota-kota di Suriah hancur dan banyak sekali pelanggaran hak asasi manusia
sampai pada tahap mengerikan. Ironisnya, kebutuhan dasar seperti makanan
dan perawatan medis bagi para korban konflik tersebut sangat jauh dari memadai
Konflik yang
terjadi di Suriah menciptakan satu dari sekian bencana kemanusiaan terburuk
abad ini. Bahkan lembaga kemanusiaan Amnesty Internasional, Human Rights Watch,
Oxfam menyebut krisis Suriah sebagai krisis kemanusiaan terbesar sepanjang usia
manusia di bumi. Lebih dari 11 juta warga sipil tak berdosa yang menjadi korban
konflik ini sangat menderita. Mereka terpaksa mengungsi menjauh dari wilayah
wilayah konflik demi menyelamatkan jiwa mereka.
Dikutip dari
ACTNews Jumlah warga Suriah yang mengungsi di Yordania (629.245 jiwa),
Lebanon (1.172.753 jiwa), Mesir (132.375 jiwa), Irak (249.726
jiwa), dan Turki (1.938.999). Pengungsi Suriah yang mengungsi ke negara
Irak bagian utara sudah lebih dari satu juta pengungsi dan mirisnya mereka
malah terjebak dengan konflik yang terjadi di Irak.
Ribuan
pengungsi Suriah hanya berharap menemukan kedamaian di negara lain bahkan
sampai negara Eropa mencoba melakukan perjalanan berbahaya, mereka melakukan
perjalanan bermil-mil di malam hari demi menghindari penembak jitu atau
tertangkap oleh tentara perang yang memaksa para pemuda sipil ikut berperang.
mereka melintasi Laut Mediterania dari Turki ke Yunani, berharap menemukan masa
depan yang lebih baik di Eropa.
Menurut yang
dilansir oleh Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi memberikan status pengungsi
kepada 100.000 warga Suriah di 4 bulan awal perang terjadi. Lalu 800.000
warga sipil Suriah terdaftar sebagai pengungsi pada April tahun 2013.
Lalu kurang dari empat bulan, angka itu terus bertambah menjadi 1,6 juta orang.
Sekarang ada 4 juta warga Suriah yang tersebar di seluruh wilayah,
membuat mereka menjadi pengungsi terbesar di dunia di bawah mandat PBB. PBB
memprediksi mungkin ada 4,27 juta pengungsi Suriah pada akhir 2015. Sebuah
eksodus terburuk sejak genosida Rwanda 20 tahun yang lalu.
Kamp resmi
untuk pengungsi yang mereka tempati adalah Jordan Za’atari, yang dibangun tahun
2012. Pada saat itu Jordan Za’atari menjadi tujuan utama sekitar 81.500 warga
Suriah tinggal disana. Gurun tandus itu pun penuh sesak dengan
tenda berwarna putih, toko darurat yang berbaris di jalan utama dan
fasilitas olahraga berupa lapangan dan sekolah yang tersedia untuk
anak-anak. Sejumlah kamp untuk pengungsi dibangun oleh pemerintah bersama PBB,
seperti di Turki dan Yordania. Tetapi banyak pengungsi meninggalkan kamp atau
mereka membangun kamp-kamp darurat sendiri yang dirasa lebih nyaman. Tetapi
fakta menyebutkan karena fasilitas kamp yang jauh dari memadai dan juga sudah
penuh sesak oleh pengungsimayoritas pengungsi tinggal di luar kamp. Hal
ini karena fasilitas kamp, selain penuh manusia, juga fasilitas kamp yang
jauh dari memadai, hingga menjadi siksaan sendiri jika mencoba bertahan.
Bagi
pengungsi yang tidak mendapatkan tenda pengungsi, harus mencari uang
untuk sewa tempat tinggal mereka tak peduli apakah bangunan yang disewa nyaris
runtuh yang terpenting mereka bisa gunakan sebagai tempat tinggal. Mereka
bekerja, kendati ilegal, di Yordania dan Lebanon, dengan menerima upah rendah
yang lebih sering tak mencukupi untuk membeli kebutuhan dasar mereka, yakni
makan dan minum. Sementara itu pengungsi Suriah di Irak utara sedikit
lebih baik, dimana warga Suriah dari etnis Kurdi boleh bekerja, kendati masih
terbatas karena konflik yang juga terjadi di sana.
Pengungsi di
kamp-kamp pengungsian pun masih terganggu dengan Kekurangan air bersih dan
sanitasi yang tak memadai di kamp darurat, hal ini menjadi menyebabkan penyakit
kolera dan polio mengintai sewaktu-waktu. Terlebih pelayanan medis juga jauh
dari harapan. Di beberapa daerah dengan populasi pengungsi terbesar para
pengungsi hanya mendapat jatah 30 liter per hari, kekurangan air telah mencapai
tingkat darurat
Akibat
konflik Suriah ini banyak anak-anak dan remaja yang seharusnya bisa mengecam
pendidikan untuk masa depan mereka yang lebih baik malah menjadi hancur, dan
masa depan yang tidak pasti, mereka yang tinggal di kamp banyak yang tidak bisa
sekolah dan tidak punya uang untuk transportasi ke sekolahnya. Di kamp
pengungsi telah ada sekolah darurat dikarenakan begitu banyaknya pengungsi usia
belajar beberepa skolah darurat membagi kegiatan belajar menjadi 2 shift.
Menurut PBB,
lebih dari setengah pengungsi Suriah berada di bawah usia 18 tahun. Sebagian
besar telah keluar dari sekolah selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Anak-anak sudah pasti berada dalam kebingungan, kurang rasa aman,
bahkan ketakutan dengan hidup yang harus mereka hadapi. Dalam usia yang masih
Anak-anak ini terpaksa harus mencari pekerjaan, bahkan sebagian ditemukan dalam
keadaan mengemis di kota-kota di Turki dan mengurus keluarga mereka dalam
keadaan penuh derita.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar