Jumat, 22 Januari 2016

PENULISAN: KRISIS KEMANUSIAAN DI SURIAH



KRISIS KEMANUSIAAN DI SURIAH

Suriah dengan ibu kota Damaskus merupakan salah satu negara yang berada di kawasan Timur Tengah, Suriah berbatasan langsung dengan Turki, Irak dan Yordania. Suriah merupakan salah satu negara yang mengalami bencana kemanusia akibat perang Sipil yang terjadi hingga detik ini. PBB mengatakan bahwa Suriah telah menjadi medan pertempuran yang amat mengerikan. Perang Suriah terus terjadi dan semakin memanas.
Seperti yang dilansir oleh laman CNN, sedikitnya lebih dari 20 ribu pengungsi Suriah telah menyebrang dan melarikan diri dari Suriah ke Turki melalui perbatasan Tal Abyad demi mengharap perlindungan keamanan dari Perang sipil yang tak berujung antara pejuang Kurdi dengan kelompok militan ekstremis ISIS. Para pengungsi meninggalkan negara mereka yang dilanda perang melalui pos perbatasan Turki, Akcakale, yang menghadap ke Kota Tal Abyad di Suriah yang kini dikuasai oleh YPG.
Warga Suriah memutuskan untuk keluar dari negara Suriah dan mengungsi ke negara tetangga bahkan Eropa karena negara Suriah tempat tinggal mereka sudah menjadi arena perang yang mengerikan, mereka melihat anggota keluarga tewas ditembaki dengan sadis oleh senjata mesin atau rumah mereka yang sudah rata dengan tanah akibat bom.
Awal mula Krisis kemanusiaan di Suriah ini adalah terjadinya demo anti-pemerintah pada bulan Maret 2011.  Protes damai yang dilakukan merupakan bagian dari gelombang Arab Spring itu semakin besar dan pecah jadi kerusahan setelah tentara pemerintah meresponnya protes damai itu dengan kekerasan. Pemberontak pun termakan emosi dan bangkit melawan rezim.  Sejumlah tentara melakukan pembelotan dan warga sipil ikut angkat senjata. Sampai saat ini sudah memakan banyak korban akibat perang sipil dari konflik Perpecahan antara pejuang sekuler dan Islamis, dan antara kelompok etnis.
Sudah empat tahun berlalu konflik di Suriah berlangsung, samapi saat ini diperkirakan lebih dari 220.000 orang tewas dan dari korban yang tewas itu sebagian besar adalah warga sipil. Perang yang semakin memanas ini menyebabkan banyak infrastruktur kota-kota di Suriah hancur dan banyak sekali pelanggaran hak asasi manusia sampai pada tahap mengerikan.  Ironisnya, kebutuhan dasar seperti makanan dan perawatan medis bagi para korban konflik tersebut sangat jauh dari memadai
Konflik yang terjadi di Suriah menciptakan satu dari sekian bencana kemanusiaan terburuk abad ini. Bahkan lembaga kemanusiaan Amnesty Internasional, Human Rights Watch, Oxfam menyebut krisis Suriah sebagai krisis kemanusiaan terbesar sepanjang usia manusia di bumi. Lebih dari 11 juta warga sipil tak berdosa yang menjadi korban konflik ini sangat menderita. Mereka terpaksa mengungsi menjauh dari wilayah wilayah konflik demi menyelamatkan jiwa mereka.
Dikutip dari ACTNews Jumlah warga Suriah yang mengungsi di Yordania (629.245 jiwa),  Lebanon (1.172.753  jiwa),  Mesir (132.375 jiwa), Irak (249.726 jiwa), dan Turki (1.938.999).  Pengungsi Suriah yang mengungsi ke negara Irak bagian utara sudah lebih dari satu juta pengungsi dan mirisnya mereka malah terjebak dengan konflik  yang terjadi di  Irak.
Ribuan pengungsi Suriah hanya berharap menemukan kedamaian di negara lain bahkan sampai negara Eropa mencoba melakukan perjalanan berbahaya, mereka melakukan perjalanan bermil-mil di malam hari demi menghindari penembak jitu atau tertangkap oleh tentara perang yang memaksa para pemuda sipil ikut berperang. mereka melintasi Laut Mediterania dari Turki ke Yunani, berharap menemukan masa depan yang lebih baik di Eropa.
Menurut yang dilansir oleh Komisi Tinggi PBB Urusan Pengungsi memberikan status pengungsi kepada 100.000 warga Suriah di 4 bulan awal perang terjadi.  Lalu 800.000 warga sipil Suriah terdaftar sebagai pengungsi pada  April tahun 2013. Lalu kurang dari empat bulan, angka itu terus bertambah menjadi 1,6 juta orang.  Sekarang ada 4 juta warga Suriah yang tersebar di seluruh wilayah, membuat mereka menjadi pengungsi terbesar di dunia di bawah mandat PBB. PBB memprediksi mungkin ada 4,27 juta pengungsi Suriah pada akhir 2015. Sebuah eksodus terburuk sejak genosida Rwanda 20 tahun yang lalu.
Kamp resmi untuk pengungsi yang mereka tempati adalah Jordan Za’atari, yang dibangun tahun 2012. Pada saat itu Jordan Za’atari menjadi tujuan utama sekitar 81.500 warga Suriah tinggal disana. Gurun tandus  itu pun penuh sesak dengan  tenda berwarna putih, toko darurat  yang berbaris di jalan utama dan  fasilitas olahraga  berupa lapangan dan sekolah yang tersedia untuk anak-anak. Sejumlah kamp untuk pengungsi dibangun oleh pemerintah bersama PBB, seperti di Turki dan Yordania. Tetapi banyak pengungsi meninggalkan kamp atau mereka membangun kamp-kamp darurat sendiri yang dirasa lebih nyaman. Tetapi fakta menyebutkan karena fasilitas kamp yang jauh dari memadai dan juga sudah penuh sesak oleh pengungsimayoritas pengungsi tinggal di luar kamp.  Hal ini karena fasilitas kamp, selain penuh manusia,  juga fasilitas kamp yang jauh dari memadai, hingga menjadi siksaan sendiri jika mencoba bertahan.
Bagi pengungsi yang tidak mendapatkan  tenda pengungsi, harus mencari uang untuk sewa tempat tinggal mereka tak peduli apakah bangunan yang disewa nyaris runtuh yang terpenting mereka bisa gunakan sebagai tempat tinggal. Mereka bekerja, kendati ilegal, di Yordania dan Lebanon, dengan menerima upah rendah yang lebih sering tak mencukupi untuk membeli kebutuhan dasar mereka, yakni makan dan minum.  Sementara itu pengungsi Suriah di Irak utara sedikit lebih baik, dimana warga Suriah dari etnis Kurdi boleh bekerja, kendati masih terbatas karena konflik yang juga terjadi di sana.
Pengungsi di kamp-kamp pengungsian pun masih terganggu dengan Kekurangan air bersih dan sanitasi yang tak memadai di kamp darurat, hal ini menjadi menyebabkan penyakit kolera dan polio mengintai sewaktu-waktu. Terlebih pelayanan medis juga jauh dari harapan. Di beberapa daerah dengan populasi pengungsi terbesar para pengungsi hanya mendapat jatah 30 liter per hari, kekurangan air telah mencapai tingkat darurat
Akibat konflik Suriah ini banyak anak-anak dan remaja yang seharusnya bisa mengecam pendidikan untuk masa depan mereka yang lebih baik malah menjadi hancur, dan masa depan yang tidak pasti, mereka yang tinggal di kamp banyak yang tidak bisa sekolah dan tidak punya uang untuk transportasi ke sekolahnya. Di kamp pengungsi telah ada sekolah darurat dikarenakan begitu banyaknya pengungsi usia belajar beberepa skolah darurat membagi kegiatan belajar menjadi 2 shift.
Menurut PBB, lebih dari setengah pengungsi Suriah berada di bawah usia 18 tahun. Sebagian besar telah keluar dari sekolah selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Anak-anak  sudah pasti  berada dalam kebingungan, kurang rasa aman, bahkan ketakutan dengan hidup yang harus mereka hadapi. Dalam usia yang masih Anak-anak ini terpaksa harus mencari pekerjaan, bahkan sebagian ditemukan dalam keadaan mengemis di kota-kota di Turki dan mengurus keluarga mereka dalam keadaan penuh derita.

Sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar