MIRISNYA SINETRON INDONESIA
Penulis melihat fenomena yang
terjadi di masyarakat kini, semakin banyaknya ketimpangan dan kesenjangan
sosial yang semakin terasa dan jelas tampak di depan mata kita semua. Mulai
dari kemiskinan, pendidikan, dan strata sosial yang jelas sudah terkotak-kotak.
Dan dari apa yang penulis saksikan pula salah satu sektor yang paling
bertanggung atas terjadinya krisis sosial dan kepercayaan diri ini adalah
muaranya dari produksi tontonan masyarakat kita yang sangat menggandrungi
tayangan-tayangan apapun namanya itu yang marak dari dulu sampai sekarang di
televisi seperti sinetron, FTV, acara musik, reality show dan sejenisnya.
Siapa dalang dibalik semua itu?.
Jelas mereka para pelaku industri (pengusaha atau lebih tepatnya konglomerasi
media) pertelevisian yang sangat kentara bahkan cenderung terobsesi pada
keuntungan finansial semata adalah pihak yang paling bisa disalahkan,
dibandingkan tugas memberikan tontonan mendidik sebagai salah satu social
responsibility (tanggung jawab sosial) kepada masyarakat
pemegang hak paten frekuensi publik yang sebenarnya. Mereka para
pelaku usaha dengan sadar dan sengaja ditambah terorganisir pula mengenyampingkan
itu semua semata-mata tujuannya hanyalah uang, dari sini saja sangat jelas dan
tanpa malu juga tak terbantahkan lagi kalau fungsi media massa sebagai media
informasi dan komunikasi serta pendidikan terus saja diabaikan.
Dengan mengangkat tema itu-itu saja,
seperti cerita cinta roman picisan ala remaja kota yang seakan tak ada
habisnya, mengkastakan antara mereka yang miskin dan kaya, menggambarkan
kekayaan selalu identik dengan kemewahan dan peradaban tinggi (versi mereka),
orang kampung itu selalu terbelakang dan tidak pantas bersanding dengan mereka
orang-orang kaya, yang selalu digambarkan dengan pemuda-pemudi cantik plus
kendaraan mewah, tinggal di kota dengan rumah besar. Media massa terutama
televisi terus memproduksi tontonan yang kosong akan makna dan terkesan
dipaksakan, hanya sekedar pendulang rating dan tak ada isinya. bukannya
berperan dalam membentuk pribadi dan karakter penonton Indonesia dengan karya
yang bermutu dan berwawasan ilmu pengetahuan, malahan apa yang kita lihat
adalah pembodohan secara berkala dan tak terasa sudah meracuni pikiran kita.
Nilai-nilai seperti kapitalisme, hedonisme, individualis dan matrealistik jamak
kita temui dalam film-film atau sinetron pujaan remaja dimasa kini.
Semakain sulitnya kita menemukan
media informasi dan sekaligus media hiburan seperti film yang tidak hanya
berisikan kisah-kisah lama seperti yang penulis sebutkan diatas (dan pemirsa
dirumah tau sendiri seperti apa sinetron yang sedang ramai saat ini), maka
dibutuhkan inisiatif para pemuda-pemuda kreatif yang mengerti keadaan bangsa
ini luar dan dalam untuk membuat film dengan tema apa saja sesuai dengan passion
mereka, yang penting berisi muatan-muatan edukatif, berisi pesan moral dan etos
kerja, bertujuan tak lain membentuk para penonton setia perfilman dan
persinetronan Indonesia tidak hanya mendapat hiburan tapi juga
pencerahan.
Televisi merupakan salah satu media
massa yang paling banyak ditonton dan dijadikan sumber informasi masyarakat
dijaman modern ini, ini menempatkan televisi sebagai media paling banyak
disukai sekaligus paling banyak memberikan pengaruh pada penontonnya. Dari sini
dapat kita bayangkan betapa televisi dapat dengan mudahnya menjadi media
pengubah gaya hidup suatu masyarakat melaui tontonan-tontonannya.
Lewat film penulis rasa dan
sejujurnya menaruh harapan besar melalui media satu ini dapat diproyeksikan
sebagai salah satu senjata paling ampuh dalam membendung pengaruh-pengaruh
buruk diluar sana (maksudnya diluar Indonesia, nilai-nilai yang tidak sesuai
dengan ke-indonesiaan) yang berpotensi merusak generasi emas bangsa ini. Lewat
film sebenarnya kita sangat bisa membuat perubahan dan berharap besar sekali
pada media ini menjadi sarana menyalurkan pesan-pesan pendidikan dan sosial
yang bisa membangun rasa empati masyarakat, dan mudah-mudahan dapat membuka
mata hati kita semua bahwasannya banyak orang-orang yang kurang beruntung
kehidupannya di luar sana. Empati artinya ikut merasakan apa yang orang lain
rasakan, ikut merasa sakit dan sedih atas kemalangan seseorang (kurang-lebih seperti
itu).
Setiap orang mempunyai caranya
sendiri dalam mengekspresikan rasa kepeduliannya terhadap kondisi Indonesia dan
lingkugan sekitarnya. Maka lewat karya sederhana ini penulis berharap dan
semoga dapat menumbuhkan rasa peduli kita semua terhadap perkembangan perfilman
dan persinetronan Indonesia (karna merupakan dua hal yang berbeda). Lewat
tulisan ini pula penulis ingin membangunkan para pembaca sekalian dari mimpi
panjang dan semu yang ditawarkan melalui sinetron-sinetron tak bermutu di televisi-televisi
Indonesia. Mari cerdas memilih tontonan untuk kita dan anak-anak kita terutama,
jangan hanya sekedar melihat dari cantik tampan aktor dan aktrisnya, tapi harus
lebih selektif lagi dengan mencari tontonan yang sekaligus memberikan tuntunan
bagi kita dan keluarga, karna pendidikan yang paling utama itu selalu dimulai
dari rumah dan lingkungan tempat tinggal kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar