Jumat, 22 Januari 2016

PENULISAN: NASIB PENGHARUM NAMA BANGSA YANG TERLUPAKAN



NASIB PENGHARUM NAMA BANGSA YANG TERLUPAKAN

Prestasi olahraga Indonesia saat ini bisa dikatakan masih jalan ditempat. Jika dilihat dari pencapaian ketika mengikuti acara maupun perlombaan tingkat Internasional seperti SEA Games, Asean Games bahkan Olimpiade Internasional, presentase perolehan medali emas Indonesia cenderung menurun. Dan salah satu penyebabnya adalah belum adanya jaminan kesejahteraan untuk para atlet yang telah berjasa mengharumkan nama besar Indonesia, baik  disaat masih mampu menjalankan tugasnya, hingga dimasa ketika mereka tidak dibutuhkan lagi sebagai atlet. Sepertinya hal ini menjadi pertimbangan para atlet untuk melakukan totalitas.
       Sebagai contoh, banyak yang sudah terjadi dalam cabang olahraga Atletik. Gurnam Singh (80), yang sering dijuluki ‘manusia tercepat se-Asia’ yang pernah berjasa memberikan medali emas untuk Indonesia diajang SEA Games tahun 1962. Bahkan pada saat itu, ia pernah menjadi tamu kehormatan yang diundang oleh Presiden Soekarno di Istana Negara. Ia mendapat hadiah 20 ekor sapi, 2 buah mobil, serta rumah yang berada di Gang Sawo, Medan, Sumatera Utara. Namun masa kejayaannya tidak berlangsung lama. Pada tahun 1972 setelah ia pensiun dari Atlet atletik kehidupan Gurnam Singh berubah 180 derajat. Kediamannya di Medan pun digusur karena tidak memiliki ijin IMB (Ijin Mendirikan Bangunan). Ia pun sampai menjual beberapa medalinya ke Rumania, Filipina, dan Malaysia demi untuk bertahan hidup. Hal tersebut membuat ia ditinggal oleh istri dan anak – anaknya dan kini ia hidup sebatang kara.
Cerita serupa dialami oleh juara tinju dunia, Ellyas Pical yang memiliki gelar juara tinju kelas Bantam Junior versi Internasional Boxing Federation (IBF) tahun 1985. Sama halnya dengan Gurnam Singh, setelah Ellyas pensiun, ia pun bekerja menjadi satpam.
Adapun kisah peraih medali emas Olimpiade 1992 cabang bulu tangkis, Susi Susanti yang mengaku kehidupannya menjadi berubah semenjak ia memutuskan untuk pensiun. Bersama suami yang juga pemain bulu tangkis, sejak itu mereka harus berjuang hidup mulai dari nol lagi untuk membiayai kehidupan rumah tangganya. Pada akhirnya mereka tidak tertarik lagi untuk mendorong anaknya mengikuti jejak orangtuanya, mengingat jenjang karir sebagai Atlet tidak selalu stabil.
Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) sendiri mengaku prihatin dengan nasib sejumlah mantan atlet nasional yang terbengkalai penghidupannya. Akan tetapi, Kemenpora menolak untuk selalu bertanggung jawab soal nasib dan penghidupan para mantan pengharum nama Indonesia di gelanggang olahraga tersebut.
Deputi V Bidang Harmonisasi dan Kemitraan Kemenpora Gatot Dewa Broto mengatakan, kondisi ekonomi para mantan atlet tersebut adalah pilihan hidup dari yang bersangkutan. Menurut dia, pemerintah tidak serta-merta dapat disalahkan atas nasib memprihatinkan para mantan atlet itu.
Gatot yang juga merangkap sebagai Juru Bicara (Jubir) Kemenpora itu mengatakan, nasib buruk sebagian mantan atlet adalah catatan terbalik dari sejumlah mantan atlet yang terbukti mampu menjadikan olahraga sebagai penghidupan. Artinya kata dia, sebenarnya prestasi olahraga dari para mantan atlet bisa memberikan penghidupan yang layak. Sebab, Kemenpora menyediakan bonus dalam jumlah besar bagi para atlet peraih medali dalam setiap gelaran olahraga. Gatot mencontohkan, untuk gelaran multievent, seperti Olimpiade, Kemepora menjanjikan bonus Rp 1 miliar bagi para atlet peraih medali emas. Untuk multievent kawasan, seperti Asian Games, ada bonus Rp 500 juta bagi peraih medali emas. Sedangkan untuk multievent regional, seperti Sea Games, Kemenpora menyediakan bonus Rp 250 juta bagi peraih medali emas. Jumlah tersebut diterangkan Gatot berlaku juga untuk peraih medali perak juga perunggu. Yaitu, dengan jenjang nilai 50 persen dari jumlah bonus tertinggi. Menurut Gatot, jumlah tersebut nilai layak bagi para atlet untuk menghidupi diri jika sedang tak dalam massa kompetisi. Artinya, para mantan atlet peraih medali dalam gelaran yang telah lewat, tak bisa mengklaim bonus tersebut. Sebab, bonus hanya berlaku bagi para atlet peraih medali dalam gelaran yang sedang beralangsung. Lantas, bagaimana dengan nasib mantan atlet yang nestapa setelah tak lagi bisa membela Merah Putih di gelanggang olahraga? Sebetulnya, dikatakan Gatot, Kemenpora hanya mengandalkan program Tali Kasih bagi para mantan atlet.
Di tempat terpisah, Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Tono Suratman menyampaikan, kondisi beberapa mantan atlet memang cukup memprihatikan. Hanya, dia pun setuju jika pemerintah tak disalahkan karena ketelantaran para mantan atlet tersebut.

Sebab, kata dia, pemerintah tentunya sudah memberikan ragam apresiasi bagi para mantan atlet. Bahkan, kata dia, apresiasi tetap diberikan bagi mantan atlet yang membawa nama Indonesia ke gelanggang internasional meskipun pulang tanpa membawa prestasi.

"Saya selalu mengatakan tidak mau anak jadi atlet, karena apa? Karena, tidak ada suatu jaminan pada hari tua. Jika pemerintah tidak mau berpikir untuk mulai mengelola dana pensiun bagi atlet, tidak ada orang yang mau jadi atlet," kata Taufik dalam sebuah seminar, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Taufik pun membandingkan penghargaan atlet yang jauh bila dibandingkan anggota DPR. "Anggota DPR saja yang bertugas selama empat tahun, ada pensiunnya. Sementara, atlet yang telah mengorbankan semua hidupnya sampai kehilangan masa remaja, sama sekali tidak memiliki uang pensiun. Seharusnya, hal ini menjadi perhatian bersama," ujar Taufik menegaskan.
Sebenarnya, mengapa saya menggunakan judul penulisan ini karena saya merupakan salah satu orang yang merasa prihatin terhadap nasib atlet atau orang yang telah berjuang mengharumkan nama baik bangsa sendiri. Saya juga merupakan salah satu yang sangat mendukung tentang prestasi olahrga terutama bidang bulutangkis. Saya berharap mereka yang telah berjuang di masa hidupnya guna mennharumkan nama bangsa ini, dapat menikmati hasil jerih payahnya dimasa tuanya nanti. Sekian.
Sumber :


PENULISAN: BUDAYA SOPAN SANTUN ( AKAN ) LUNTUR



BUDAYA SOPAN SANTUN ( AKAN ) LUNTUR

Bahasa dan sopan santun menunjukkan cerminan pribadi seseorang. Sifat atau watak pribadi seseorang dapat dilihat dari perkataan yang ia ucapkan maupun penampilan diri. Penggunaan bahasa yang lemah lembut, sopan, santun, sistematis, teratur, jelas, dan lugas mencerminkan pribadi yang berbudi. Sebaliknya, melalui penggunaan bahasa yang kasar, menghakimi, menghujat, memaki, memfitnah, mendiskreditkan, memprovokasi, mengejek, atau melecehkan, akan mencitrakan pribadi yang kurang berbudi. Begitu pula dengan penampilan pakaian seseorang, jika ia tak mampu menyesuaikan pakaian dalan situasi tertentu, hal itu menjadikan orang itu tidak mampu menerapkan prinsip kesopanan.
Dalam kehidupan modern ini tampaknya remaja sekarang cenderung kehilangan etika dan sopan santun terhadap teman, orangtua, guru atau orang lain yang lebih tua. Berbagai faktor dapat mempengaruhi hal ini. Paparan negatif media televisi, internet dan media elektronika lainnya ternyata dapat meningkatkan kekerasan dan agresifitas anak. Dewasa ini kondisi lingkungan sering mengabaikan nilai edukasi moral, etika, sopan santun dan sering mencontohkan kebohongan dan kekerasan baik verbal maupun non verbal tentunya berpengaruh pada perilaku anak dan remaja.
Berbagai kejadian buruk sering dilaporkan bahwa remaja sering melecehkan, perkelahian atau tawuran dengan sesama temannya. Anak membentak orangtua atau anak menyumpahi orangtuanya. Bahkan kejadian tragis sering kita amati di televisi yaitu ada seorang anak yang tega membunuh ibunya atau ayahnya. Hal ini disebabkan karena budaya sopan kiranya mulai luntur dalam lingkungan masyarakat kita.
Dalam budaya ketimuran, berjalan melewati orangtua, guru atau orang yang lebih tua saja harus membungkuk. Sedangkan membantah atau berkata keras saja kepada guru atau orangtua sudah merupakan tindakan buruk. Memang, untuk hormat kepada orangtua tidak harus menyembah terlalu dalam, tetapi paling tidak etika dan kesopanan terhadap orangtua, guru atau orang lebih tua harus tetap dijunjung tinggi.
Secara etimologis sopan santun berasal dari dua buah kata, yaitu kata sopan dan santun. Keduanya telah bergabung menjadi sebuah kata majemuk. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sopan pantun dapat diartikan sebagai berikut: Sopan berarti hormat dengan tak lazim, tertib menurut adab yang baik, sedangkan Santun berarti halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sopan, sabar; tenang. Atau bisa dikatakan cerminan psikomotorik (penerapan pengetahuan sopan ke dalam suatu tindakan). Jika digabungkan kedua kalimat tersebut,sopan santun adalah pengetahuan yang berkaitan dengan penghormatan melalui sikap, perbuatan atau tingkah laku, budi pekerti yang baik, sesuai dengan tata karma, peradaban, dan kesusilaan.
Suatu tindakan yang baik jika kita harus sopan di mana saja, kapan saja dan dalam kondisi apapun. Apalagi kita hidup dalam budaya Timur yang sarat akan nilai-nilai kesopanan, sehingga seharusnya kita berpatokan dalam budaya timur dan berpedoman pada sopan santun ala timur. Sopan santun itu bukan warisan semata dari nenek moyang, lebih dari itu, dia sudah menjadi kepribadian kita. Memang kadar kesopanan yang berlaku dalam setiap masyarakat berbeda–beda, tergantung dari kondisi sosial setempat. Dan permasalahan ini sangat komplek karena berkaitan dengan faktor dalam dan luar seseorang yang menyebabnya lunturnya nilai sopan seseorang.
Keadaan sekarang ini yang secara realita kebudayaan terus berubah karena masuknya budaya barat akan sulit mempertahankan kesopanan di semua keadaan ataupun di semua tempat. Misalnya saja sopan santun dalam tutur kata. Di barat, anak-anak yang sudah dewasa biasanya memanggil orang tuanya dengan sebutan nama, tetapi di Indonesia sendiri panggilan tersebut sangat tidak sopan karena orang tua umurnya lebih tua dari kita dan kita harus memanggilnya bapak ataupun ibu.
Kemudian sopan santun dalam berpakaian, di luar negeri orang yang berpakaian bikini di pantai bagi mereka wajar. Tapi bagi kita berpakaian seperti itu sangat tidak sopan karena dianggap tidak sesuai dengan norma kesopanan. Selanjutnya Sopan santun dalam bergaul, di barat jika kita bertemu teman yang berlawanan jenis kita boleh mencium bibirnya, tetapi di Indonesia hal tersebut sangat bertentangan dengan kesusilaan. Oleh karena kebudayaan yang masuk tidak tersaring sepenuhnya menyebabkan lunturnya sopan santun.
Sedangkan luarnya ada pada diri sendiri, keluarga, lingkungan tempat nongkrong, lingkungan sekolah, ataupun media massa. Pengetahuan tentang sopan santun yang didapat di sekolah mungkin sudah cukup tapi dilingkungan keluarga ataupun tempat tongkrongan dan media massa kurang mendukung tindakan sopan di semua tempat ataupun sebaliknya, sehingga membuat tindakan sopan yang dilakukan oleh anak-anak atau pun remaja hanya dalam kondisi tertentu. Misalnya penyebutan nama bagi yang umurnya lebih tua masih dianggap tidak sopan sehingga mereka memanggil kakak, mbak, kangmas ataupun yang lain.
Marilah kita mulai dari sekarang untuk membudayakan sopan dalam lingkungan kita yang terkecil terlebih dahulu lalu berlanjut ke lingkungan di atasnya. Kita dapat memulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah. Kalau tidak sekarang kapan lagi, karena semakin lama kita berubah semakin cepat budaya sopan santun mungkin akan luntur dengan adanya era keterbukaan dari barat, jika kita tidak mampu menyelesaikannya.


Sumber :




PENULISAN: GENERASI GADGET



GENERASI GADGET?

Budaya menunduk, mungkin adalah sebutan atau deskripsi yang cocok untuk menggambarkan generasi muda kita sekarang ini yang telah keranjingan gadget (hp, android/tablet, note, dan lain-lain).
Di mana-mana dapat kita jumpai dengan mudah orang-orang muda yang “memamerkan” gadgetnya di depan umum atau di ruang publik, mulai dari plaza/mall, hotel, bank, bandara/pe­labuhan/stasiun/terminal, sekolah, pasar, sampai ke jalan-jalan umum bahkan di dalam toilet, gadget seolah terus melekat di tangan si empunya, bagaikan suatu barang kebutuhan pokok/primer yang sangat sulit dilepaskan. Padahal jika mau dikelompokkan, gadget masih termasuk kebutuhan sekunder/sandang, bahkan tertier/hiburan.
Generasi yang keranjingan gadget bukan saja para remaja, melainkan juga anak-anak dan orang tua. Dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah globalisasi dan internet sebagai bukti nyata dari globalisasi, gadget merupakan alat perantara untuk itu. Segala informasi dari seluruh penjuru dunia baik yang aktual maupun yang telah lama lewat, informasi terkini, bahkan sampai gun­cangan gempa yang barusan satu menit terjadi, langsung dapat diketahui dan mendapat tanggapan di mana-mana lewat media sosial (medsos) dan gadgetlah yang berperan untuk itu. Komunikasi dengan siapa saja teman yang kita mau dari seluruh penjuru dunia juga bisa dilakukan melalui gadget atau medsos.
Tentunya, keranjingan gadget ini selain memberikan dampak positif, sangat mudah dan cepatnya segala informasi/data dari segala penjuru dunia bisa diakses/diketahui, juga memberikan dampak negatif. Sebut saja, remaja yang keranjingan games online yang bisa di-download gratis dari internet dengan memasuki situs games, maka setiap hari si remaja atau bahkan anak-anak/orang tua pun sepanjang hari memelototi gadget dan sibuk dengan permainan games-nya yang seru. Apalagi di dalam games online, si pemain bisa sambil bermain games sambil chatting/ngobrol dengan lawan mainnya yang majemuk/banyak orang.
Wah, menarik sekali bukan? Sampai-sampai remaja/anak-anak lupa bahwa tugas utama mereka adalah belajar, bukan bermain games ataupun chatting dengan teman-teman di medsos melalui berbagai akun sosial: fb, Twitter, Yahoo Messenger, bbm, dan lain-lain.
Selain dipergunakan untuk mengobrol dengan teman-teman di akun sosial, medsos di atas sering juga digunakan sebagai ajang untuk “memperkenalkan diri” lebih dekat, ajang bercanda-tawa/senda-gurau, bahkan ajang pamer foto-foto selfie dan foto beramai-ramai bersama teman-teman yang terbaru dan tercantik, berikut setting/pemandangan bagus/indah yang mengundang decak-kagum. Begitu satu kalimat atau satu foto diunggah ke dalam akun sosial si empunya melalui gadget, maka teman-temannya yang ratusan bahkan ribuan orang akan dapat membaca atau melihatnya.
Pengalaman pribadi penulis, perasaan setelah memperkenalkan diri lebih dekat dan menceritakan aktivitas terbaru, pandangan, pendapat, bahkan sampai ke curhat dan keluhan, hati si pengunggah akan merasa lebih lapang, gembira, bahkan bisa tertawa-tawa sendiri. Apalagi bila status/kalimat maupun foto yang diunggah mendapat tanggapan/komen/like dari teman-teman, seolah-olah diri menjadi sosok yang amat berharga dan begitu diperhatikan.
Karena itu, kebiasaan tersebut ke­mudian berlanjut terus-menerus sebab bisa memberikan kesenangan dan ke­bahagiaan semu. Akibatnya, remaja pun kecanduan, bahkan kita sebagai orangtua yang tak pernah lepas memelototi gadget setiap hari, ikut memberi contoh bagi anak-anak kita dan mengajarkan mereka untuk ikut bermain gadget, berinteraksi sosial melalui medsos, bahkan karena sudah biasa, mereka pun tahu cara untuk mengunggah foto selfie maupun foto beramai-ramai dengan teman-teman ke dalam akun sosial masing-masing.
Tak bisa dipungkiri, berbagai ke­mudahan dan teknologi yang ditawarkan oleh gadget canggih, amat menarik hati untuk diikuti/diminati. Gadget bisa memudahkan kita dalam mengerjakan segala sesuatu atau untuk mempermudah pekerjaan sehari-hari, namun jangan lupa, gadget juga bisa memberikan dampak kecanduan yang kurang baik. Sebut saja, si A asyik dengan androidnya padahal sedang berada di tempat umum, dia menunduk terus memelototi androidnya sampai-sampai terkesan apatis atau tidak mau tahu keadaan apa yang sedang terjadi di sekelilingnya. Si B bermain hp sambil menunggu kendaraan umum yang akan ditumpanginya lewat atau sengaja mem­berhentikan sepeda motor di tepi jalan hanya untuk sekadar membaca bbm yang masuk hingga kurang berhati-hati di tengah keramaian. Si C setiap hari cuma tabletnya yang dipelototi hingga disuruh belajar pun tak mau, bahkan tak men­jawab ketika ditanya atau diajak bicara oleh temannya, nilai-nilai ujiannya anjlok atau turun drastis karena kebanyakan main games.
Generasi tua yang tidak bermain gadget sering mengomel ketika melihat bukan saja anak-anak mereka yang keranjingan gadget, bahkan cucu-cucu mereka juga. Dalam acara kumpul ke­luarga atau makan bersama, mereka lebih tertarik melihat gadget daripada mengo­brol atau beramah-tamah dengan sesama anggota keluarga. Bila ada anggota keluarga yang ultah, foto cake ultah atau foto orang yang merayakan ultah bisa jadi lebih penting dibandingkan orang yang berultah itu sendiri. Ironis sekali, bukan?
Bila ada di antara teman-teman yang telah keranjingan gadget, penulis cuma berpesan (bukan melarang), supaya bijak dalam mempergunakan gadget masing-masing dan manfaatkanlah itu untuk mengakses hal-hal yang penting/berguna, misalnya untuk mencari tahu data/informasi berkaitan dengan tugas pe­lajaran sekolah/pekerjaan. Berinteraksi­lah dengan sopan dan positif di dalam medsos, hindari kata-kata kasar, posting hal-hal yang berguna dan bisa memotivasi orang lain untuk melakukan hal-hal yang baik/berguna, dan gunakan gadget hanya untuk segala sesuatu yang bisa ber­manfaat atau berdampak baik bagi dirimu.

Sumber :